Untuk kesekian kalinya, saya harus pulang malam ke kos-kosan karena keasyikan nongkrong di kampus. Sebagai mahasiswa semester akhir yang harus menjalani perjuangan keras, kami biasa menghabiskan waktu bersama-sama untuk sekedar membagi cerita dan masalah yang sedang kami hadapi.
Selain itu kami juga meminta saran dari para senior dan para legenda pejuang skripsi. Bahkan terkadang hal yang kami lakukan itu bagaikan jargon salah satu acara stasiun televisi swasta, yaitu “memecahkan masalah tanpa solusi”.
Kebiasaan nongkrong di kampus selama seharian penuh inilah yang kadang menjadi penghambat kami untuk segera bekerja dan bermesraan kembali dengan skripsi yang sedang menunggu.
Tepat pukul sembilan malam saya tiba di pondokan saya ( istilah pengganti “kos” di kota Makassar ) yang hanya berjarak sekitar 10 m dari kampus Unhas atau sekitar 1,5 km dari fakultas saya, fakultas hukum. Jarak yang cukup dekat untuk ditemuh dengan berjalan kaki selama hampir empat tahun. Teman sekampung dan sepondokan saya yang juga sedang menjadi pejuang skripsi sepertinya belum selesai berburu petuah. Kamarnya yang gelap cukup untuk mengatakan dimana keberadaannya.
Setelah selesai membersihkan diri setelah kegiatan seharian penuh di kampus, saya kembali menuju tempat tidur dan kasur empuk sambil memikirkan langkah yang harus diambil selanjutnya. Di lantai kamar saya, berserakan buku-buku referensi skripsi yang bahkan belum pernah saya baca. Di atas meja data-data penelitian untuk skripsi saya seolah-olah berteriak dan meminta perhatian saya.
Sebagai manusia biasa yang ingin berhasil, tentu saja saya ingin segera berdiri dan mengolahnya. Saya akhirnya berdiri dan kemudian... rasa malas ternyata memenangkan hati saya untuk beranjak dari kamar sambil mencampakkan skripsi itu. Seandainya skripsi itu bisa berbicara, mungkin ia akan meneriaki saya seketika itu juga.
Saya kemudian melangkah ke kamar teman saya yang letaknya tepat di samping kamar saya. Kamarnya memang sangat nyaman, bersih, sejuk, dan sangat memanjakan tubuh-tubuh kelelahan mahasiswa-mahasiswa di kosan saya itu. Sekali saja tidur di kamar ini, anda akan tidur selama berjam-jam bahkan rasa lapar tidak akan mampu mengalahkan besarnya godaan untuk tidur di kamar itu.
Tidak mengherankan, mengapa pemilik kamarnya sendiri seperti memiliki kehidupan nocturnal, aktif di malam hari dan tidur sejak mata hari terbit hingga terbenam. Oleh karena itu, saya selalu mengidentikkan dirinya dengan kelelawar.
Akan tetapi, malam itu saya tidak merasakan nyaman yang biasa saya rasakan. Beban pikiran yang sebelumnya telah hilang akibat nongkrong di kampus mulai muncul kembali. Rasa galau karena kehidupan kos-kosan yang semakin sepi, teman-teman angkatan yang mulai menghilang satu persatu, data-data penelitian yang belum diolah dan berbagai problem mahasiswa semester akhir lainnya menyebabkan rasa sakit kepala yang sangat mengerikan.
Sulit menjelaskan bagaimana rasa sakit kepala yang saya rasakan itu dalam kata-kata. Rasanya saya ingin membenturkan kepala ke dinding atau mengambil pisau dapur dan m*nanc#pk#nnya ke kepala saya. Pada saat itulah, saya menemukan kembali pencerahan.
Saya langsung keluar dari kamar dan menuju belakang pondokan. Saya mengambil air wudhu kemudian menuju kamar dan melaksanakan sholat Isya. Saya sendiri lupa kapan terakhir kali melaksanakan sholat Isya, tapi keyakinan bahwa rasa sakit itu hanya bisa disembuhkan oleh sang pencipta membuat saya kembali teringat pada kewajiban saya sebagai manusia beragama. Pada saat itulah, saya berdoa agar semua urusan saya diberi kelancaran oleh Allah S.W.T. Saya kemudian membaca Al-Qur’an yang baru saya baca beberapa kali sejak pertama kali dibeli ketika merantau ke kota Makassar.
Seketika itu, semua rasa sakit, keresahan, dan kegundahan saya berhenti. Tiba-tiba saja kewarasan saya menaklukkan kemalasan saya hingga babak belur. Data-data hasil penelitian yang berserakan di atas meja terkumpul dan tersusun satu persatu. Buku-buku yang berserakan mulai saya bereskan.
Kemudian saya mengambil laptop dan membuka folder skripsi yang sudah tidak pernah saya buka sejak satu bulan terakhir. Tepat pukul 10 malam, saya mulai mengerjakan proyek skripsi yang menjadi teman sekaligus pacar sementara bagi mahasiswa semester akhir. Entah, kemampuan dan kerajinan seperti apa yang merasuki jiwa saya sehingga saya begitu bersemangat. Jari-jari saya menari-nari di atas tombol keyboard komputer tanpa ada rasa lelah dan seolah-olah menikmati apa yang sedang dilakukannya.
Tanpa terasa, saya telah mengetik selama hampir 5 jam. Tepat pukul 03.00 dini hari saya tertidur. Keesokan paginya, ketika kembali membuka folder bertuliskan “SKRIPSI”, saya agak sedikit terkejut. Ternyata semua data dan semua materi yang akan saya tulis telah tersusun dan saya hanya perlu mengedit kesalahan-kesalahan yang jumlahnya tidak membuat saya memakan waktu lebih dari 30 menit.
Saya akhirnya tersadar bahwa untuk bisa memperoleh segala kemudahan dalam kehidupan, kerja keras saja tidak cukup. Doa adalah salah satu unsur terpenting. Doa dari orang tua kita dan orang-orang tercinta kita tidak akan cukup jika kita sendiri tidak pernah berdoa. Bahkan, orang-orang sebelum era moderen telah menyadari itu. Makanya, ada istilah latin yang cukup terkenal dan biasa terukir di dinding-dinding sekolah dasar “Ora Et Labora”.Doa adalah pembunuh kemalasan dan akan memberikan ketenangan pada diri kita.
Mungkin inilah tujuan skripsi digunakan sebagai standar akhir menuju gelar sarjana. Skripsi seperti betul-betul menjadi pelajaran penting bagi mahasiswa. Pada tahap inilah kita akan mulai melatih mental dan kesabaran kita. Skripsi akan membentuk pribadi kita menjadi lebih dewasa dan tidak manja menghadapi segala masalah.
Mahasiswa semester akhir selalu dekat pada sang pencipta. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Saya memiliki banyak teman yang pada awalnya malas melaksanakan sholat lima waktu yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Pada akhirnya kita semua akan sadar bahwa kita perlu berdoa kepada sang pencipta untuk meraih keberhasilan.