Pencegahan perkawinan ialah hak yang diberikan oleh
Undang-Undang kepada orang-orang tertentu untuk atas dasar-dasar tertentu
menyatakan keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan antara orang-orang
tertentu.
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam
daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga
kepada pegawai pencatat perkawinan. Perkawinan dapat dicegah apabila tidak
memenuhi syarat materiil baik yang absolut dan salah seorang mempelai di bawah
pengampuan maupun yang relatif.
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan
perkawinan adalah : para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke
bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai,
pihak-pihak yang berkepentingan dan suami atau istri salah seorang calon
mempelai kalau diantara mereka masih ada yang sedang terikat perkawinan ( Pasal
14 dan 15 UU No. 1 /1974 ).
Pasal 64 KUH Perdata yang masih berlaku karena tidak diatur
dalam UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa bekas suami calon mempelai perempuan
dapat mencegah perkawinan apabila perceraiannya belum melewati masa tunggunya.
Dalam hal ini, masa tunggu harus disesuaikan dengan ketentuan dalam PP No. 9
Tahun 1975. Sedangkan Pasal 63 KUH Perdata menentukan bahwa jaksa dapat
mencegah perkawinan yang melanggar asas monogami dan larangan-larangan dalam
perkawinan.
Apabila terjadi pencegahan perkawinan, maka Pegawai Pencatat
Perkawinan dilarang melangsungkan perkawinan itu sebelum ada putusan pengadilan
yang mencabut pencegahan perkawinan atau penarikan kembali kepada pencegahan
kepada pengadilan yang mencegah.
Pegawai pencatat perkawinan juga dilarang untuk
melangsungkan perkawinan tersebut jika pegawai tersebut mengetahui adanya
pelanggaran terhadap syarat-syarat perkawinan meskipun tidak ada permohonan
pencegahan perkawinan.
Bagi calon mempelai yang yang perkawinannya ditolak oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan, berhak mengajukan permohonan perkawinan pada
pengadilan dalam wilayah hukum Pegawai Pencatat Perkawinan. Setelah pengadilan
memeriksa permohonan tersebut, pengadilan akan memberikan penetapan yang
menguatkan penolakan atau memerintahkan supaya perkawinan dilangsungkan. Jika
rintangan-rintangan untuk pencegahan perkawinan tersebut hilang, maka ketatapan
tidak mempunyai kekuatan hukum dan perkawinan dapat dilangsungkan.
Menurut Pasal 70 ayat (2) KUH Perdata yang masih berlaku
karena tidak diatur dalam UU No. 1/1974, dalam hal terdapat pencegahan
perkawinan, tetapi dalam perkawinan itu tetap dilangungkan, maka perkawinan itu
dapat dibatalkan (vernietigbaar).