Jika kita melihat pada hukum positif di negara Indonesia, kita dapat menemukan bahwa alteratif penyelesaian sengketa, termasuk arbitrase selain yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa , juga dapat kita temukan tersebar dalam berbagai ketentuan hukum positif Indonesia yang berlaku saat ini.
Berikut ini adalah beberapa ketentuan hukum positif yang mengatur mengenai pranata penyelesaian sengketa alternatif:
1. Berdasarkan pada sifat keumuman dan kekhususan
A. ADR yang bersifat umum
a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa
Dalam undang-undang ini secara jelas dikatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa hanya dapat dilakukan terhadap sengketa yang berhubungan dengan masalah-masalah yang berada dalam ruang lingkup hukum perdagangan, yang meliputi segala sesuatu yang sepenuhnya berada dalam kewenangan para pihak untuk memutuskannya.
b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi Pasal 36 Jo. Pasal 37, yang pelaksanaanya dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pasal 49 sampai Pasal 54. Pasal 50 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 mengenai masalah mediasi dalam penyelesaian sengketa jasa konsultasi yang menurut rumusan pasal tersbut dilaksanakan oleh satu mediator.
c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang yang diatur dalam Pasal 12. Ketentuan ini memungkinkan dilakukannya penyelesaian sengketa yang timbul dari pelanggaran hak rahasia dagang oleh pihak ketiga yang tidak berhak. Sama halnya dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, peenyelesaian di luar pengadilan ini tidak menuutup kemungkian dijatuhkannya sanksi pidana atas tindak pidana yang dijatuhkan.
d. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Disain Industri, yang dapat ditemukan pada Pasal 47. Ketentuan ini pada dasarnya tidak berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2000.
e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang dapat kita baca pada Pasal 39, yang pada dasarnya juga tidak berbeda dengan ketentuan yang diatur pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000.
B. ADR yang bersifat Khusus
a. Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Ada dua macam persoalan yang diselesaikan oleh BPSP ini, yaitu banding terhadap putusan pejabat pajak, dan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak. Putusan yang dijatuhkan oleh BPSP ini bersifat final dan mengikat.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan Jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Berdasarkan pada kedua undang-undang ini, semua penyelesaian perburuhan, termasuki di dalamnya semua pemutusan hubungan kerja harus diselesaikan melalui forum Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan/atauPanitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Mereka yang tidak puas terhadap hasil penyelesaian sengketa perburuhan oleh P4D dan P4P ini dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam UU ini dibentuk suatu Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang akan memeriksa ada tidaknya suatu peristiwa yang mengakibatkan terjadinya suatu praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
d. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa menurut UU ini dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dibentuk pada tiap Daerah Tingkat II.
Terhadap putusan yang dijatuhkan oleh BPSK ini antara konsumen dan pelaku usaha dapat diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri, dan terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Terhadap putusan yang dijatuhkan oleh BPSK ini antara konsumen dan pelaku usaha dapat diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri, dan terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 Tentang Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut peraturan pemerintah ini, sengketa lingkungan hidup juga dapat diselesaikan melalui forum di luar pengadilan. Untuk keperluan ini, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah serta pihak swasta/masyarakat dapat membentuk Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
2. Berdasarkan sifat eksekusi:
A. Yang bersifat memaksa dan tidak perlu perintah pengadilan, yang dapat kita temui pada Pasal 87 Undang-Undang Nomor 17 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
B. Yang pelaksanaannya memerlukan fiat eksekusi pengadilan. Pada umumnya semua penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan memerlukan perintah eksekusi pengadilan, jika pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan kesepakatan atau putusan yang diambil alternatif penyelesaian sengketa, oleh pranata tidak mau melaksanakan kesepakatan atau putusan yang telah dijatuhkan tersebut.
3. Berdasarkan pada sifat memaksa dan tidak memaksa
A. BPSP merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak. Untuk hal-hal yang ditentukan oleh para pihak yang bersengketa tidak dapat memilih jalur penyelesaian sengketa lain selain melalui forum BPSB.
B. Selain BPSP, pada dasarnya forum penyelesaian sengketa alternatif merupakan pilihan sukarela yang dapat dipilih dan dapat dikesampingkan oleh para pihak atas persetujuan mereka. Namun demikian juga, telah disinggung di atas, adakalanya sifat sukarela demikian longgar, hingga pernyataan salah satu pihak saja yang mengatakan bahwa proses alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan sudah mengalami jalan buntu, dapat menghilangkan daya ikat bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui jalur di luar pengadilan.
Dari penjabaran di atas, dapat diketahui bahwa alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia apda saat ini masih belum terdapat suatu keseragaman. Meskipun telah diundangkan oleh suatu undang-undang yang bersifat umum, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ternyata belum dapat diperoleh suatu keseragaman dalam pengaturan dan pengertian.