Ketentuan Pembatalan Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata
Apa itu pembatalan perkawinan ?Para ahli hukum berpendapat bahwa perkawinan hanya dapat dinyatakan “vernietigbaar” ( dapat dibatalkan ), artinya bahwa perkawinan itu hanya dapat dinyatakan batal sesudah keputusan hakim atas dasar-dasar yang diajukan penuntut yang ditunjuk oleh undang-undang.
Jadi, perkawinan tidak dapat dinyatakan “nietigbaar” atau batal demi hukum karena kalau demikian halnya, maka tak menjamin kepastian hukum. perkawinan dinyatakan batal setelah dilangsungkannya perkawinan.
Berikut ini adalah alasan-alasan pembatalan perkawinan :
- Apabila pihak suami atau istri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, yakni syarat materiil absolut maupun relatif seperti ditentukan pada Pasal 6-11 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
- Perkawinan diajukan apda pegawai pencatat yang tidak berwenang.
- Perkawinan dilaksanakan oleh wali nikah yang tidak sah.
- Perkawinan dilaksanakan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi. Menurut Pasal 26 ayat (2) UU No. 1 / 1974, hak untuk menuntut pembatalan perkawinan suami istri berdasarkan pada alasan nomor 2, 3, dan 4 ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang. Akan tetapi perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
- Perkawinan dilangsungkan di bawah acama yang melanggar hukum.
- Pada waktu belangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam wilayah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri ( Pasal 25 UU No. 1 Tahun 1974 ).
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
2. Suami atau istri
3. Pejabat yang berwenang dan yang ditunjuk oleh Undang-Undang
4. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukuk secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi setelah perkawinan itu putus.
Dalam KUH Perdata diatur secara terperinci alasan-alasan permohonan pembatalan perkawinan berserta pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan sebagai berikut :
1. Karena perkawinan rangkap ( seperti yang diatur pada Pasal 86 KUH Perdata ), yang dapat dimintakan pembatalan perkawinan oleh :
- Suami/istri dari perkawinan pertama
- Suami/istri dari perkawinan kedua
- Keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas
- Semua orang yang berkepentingan ( misalnya anak dari perkawinan pertama )
- Jaksa
2. Karena tidak ada persetujuan bebas antara suami istri ( Pasal 87 KUH Perdata ), yang dapat dimintakan pembatalan oleh suami/istri itu sendiri
3. Karena salah satu pihak tidak cakap memberikan persetujuan sebab di bawah pengampuan berdasarkan pikiran tak sehat ( Pasal 88 KUH Perdata ), yang dapat dimintakan pembatalan oleh :
- Orang tua. Keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas
- Saudara-saudaranya
- Paman dan bibi
- Kurator/pengampunya
- Jaksa
4. Karena salah satu pihak belum mempunyai umur tertentu dan tidak mendapat dispensasi untuk melangsungkan perkawinan ( Pasal 98 KUH Perdata ), yang dapat dimintakan pembatalan perkawinan oleh :
- Suami/istri itu sendiri
- Jaksa
5. Karena masih ada hubungan kekeluargaan darah yang masih terlalu dekat
6. Karena salah pihak menjadi kawan zina/ overspel ( Pasal 32 KUH Perdata )
7. Karena perkawinan itu ( sebagai perkawinan yang kedua kalinya ) dilakukan dalam masa setahun setelah mereka berdua bercerai atau perkwinan itu merupakan perkawinan yang ketiga kalinya ( sehubungan Pasal 33 KUH Perdata )
Alasan-alasan pembatalan perkawinan pada nomor 5,6, dan 7 dapat dimintakan pembatalan perkawinan oleh :
- Suami / istri itu sendiri
- Orang tua dari masing-masing suami / istri
- Keluarga sedarah menrut garis lurus ke atas
- Pihak yang berkepentingan
- Jaksa
8. Karena tidak memperoleh izin dari pihak ketiga yang diperlukan untuk perkawinan ( seperti yang diatur pada Pasal 91 KUH Perdata ), yang dapat dimintakan pembatalan oleh mereka yang seharusnya memberikan persetujuan kawin itu.
9. Karena perkawinan itu tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan, misalnya Pejabat Catatan Sipil tidak berwenang dan lain sebagainya ( Pasal 92 KUH Perdata ). Yang dapat dimintakan pembatalan perkawinan oleh :
- Suami/ istri itu sendiri
- Orang tua masing-masing dari suami atau istri
- Keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas dari masing-masing suami/istri
- Wali/wali pengawas dari masing-masing suami/istri
- Pihak-pihak yang berkepentingan atas perkawinan itu
- Jaksa
Mengenai akibat hukum dari pembatalan perkawinan itu ada kesamaan antara ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan ketentuan Pembatalan perkawinan dalam KUH Perdata.
Akibat-akibat hukum pembatalan perkawinan tersebut adalah :
1. Bila suami/istri tersebut beritikad baik dalam melangsungkan perkawinannya, maka walaupun perkawinannya dibatalkan tetap mempunyai akibat-akibat yang sah terhadap mereka berdua dan anak-anaknya ( Pasal 28 ayat 2 UU No. 1/1974 dan Pasal 93 KUH Perdata ). Tetapi menurut Pasal 28 ayat (2) tersebut, meskipun suami atau istri bertindak dengan baik, pembatalan tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
2. Pihak ketiga yang beritikad baik mendapatkan perlindungan dan tidak akan dirugikan terhadap hak-haknya yang ada ( Pasal 28 ayat (2) UU No. 1 / 1974 dan Pasal 96 KUH Perdata )
3. Dalam Pasal 96 KUH Perdata ditentukan akibat hukum dari pembatalan perkawinan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut : bila salah satu pihak saja yang beritikad baik, maka perkawinan itu hanya mempunyai akibat-akibat yang sah yang menguntungkan pihak yang beritikad baik dan anak-anaknya. Sedangkan pihak lain yang tidak beritikad baik dapat dikenakan pembayaran ganti rugi dan bunga.
sumber gambar : kompasiana.com |