Thursday, September 24, 2015

Penyelesaian Sengketa Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen


Masalah penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur dalam Bab X yang terdiri dari 4 pasal, dimulai dari Pasal 45-Pasal 48. Jika melihat rumusan tersebut dan beberapa ketentuan yang diatur dalam Bab XI tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), ada dua hal pokok yang perlu kita ketahui :
1.    Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui BPSK bukanlah suatu keharusan untuk ditempuh konsumen sebelum pada akhirnya diselesaikan melalui lembaga peradilan. Walau demikian hasil putusan BPSK memiliki suatu daya hukum yang cukup untuk memberi shock terapi bagi pelaku usaha yang nakal, oleh karena itu putusan tersebut dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti penyelesaian sengketa melalui BPSK, tidak menghilangkan tanggung jawab pidana menurut ketentuan yang berlaku.

Untuk mengakomodasi kewenangan yang diberikan Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada BPSK, selaku lembaga yang bertugas menyelesaikan persengketaan konsumen di luar pengadilan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi kewenangan kepada BPSK untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar larangan-larangan tertentu yang dikenakan bagi pelaku usaha, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Sebagai suatu lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan pelaksanaan dari putusan BPSK ini harus dimintakan penetpan eksekusinya pada pengadilan.

2.    Undang-Undang Perlindungan Konsumen, membedakan jenis gugatan yang dapat diajukan kepada BPSK berdasarkan pada persona standi in judicio. Rumusan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa setiap gugatan atas pelanggaran usaha dilakukan oleh :
  • Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan
  • Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
  • Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dlam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
  • Pemerintan dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Hanya merupakan aturan umum, oleh karena dalam ketentuan Pasal 46 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang diajukan sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada poin 2, 3, dan 4  tersebut di atas hanya dapat diajukan kepada peradilan umum.

Ketentuan tersebut sebenarnya hanya merupakan penegasan kembali dari ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan (hanya) dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
penyelesaian sengketa dalam undang-undang perlindungan konsumen
sumber gambar : sujarman.wordpress.com
Ini berarti Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengakui adanya tiga jalur penyelesaian, yang dapat dilakukan melalui :
1.    Peradilan
2.    Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
3.    Pranata Alternatif  Penyelesaian Sengekta Konsumen dan/atau Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.      
Previous Post
Next Post