Monday, September 21, 2015

Syarat-syarat Formil dan Materil perkawinan Dalam Hukum Perdata

    Untuk dapat melangsungkan perkawinan , maka harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan dibedakan dalam :
  • Syarat-syarat Materiil perkawinan, yaitu syarat mengenai  orang-orang yang berhak melangsungkan perkawinan, terutama mengenai persetujuan, ijin dan kewenangan untuk memberi ijin.
  • Syarat-syarat formil perkawinan, yakni syarat- syarat yang merupakan formalitas yang berkaitan dengan upacara nikah.

 

Syarat- Syarat Materiil Perkawinan


Syarat- syarat  materiil  dalam pasal 6 s/d 11 UU No.1/1974, yang dapat dibedakan lagi dalam syarat materril yang absolut/ mutlak dan syarat materiil yang relative/nisbi.

Syarat materiil yang absolut/mutlak meruapakan syarat- syarat yang berlaku dengan tidak membeda-bedakan dengan siapapun dia akan melangsungkan perkawinan, yang meliputi :

  1. Batas umur minimum pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun (pasal 7 ayat (1) UU No.1/1974). Dalam hal ini terdapat penyimpangan dari batas usia pension tersebut dapat meminta dispensasi kepada pengadilan.
  2. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau persetujan antara kedua calon mempelai (pasal 6 (1) UU No.1/1974).
  3. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai uur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua (pasal 6 ayat 2 UU No.1/1974).
    Dalam hal salah seorang dan kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,, maka ijin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
    
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara kedua orang tua, orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya dan walinya, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang terebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang seharusnya memberikan ijin sebagaimana disebutkan di atas.
    Menurut pasal 6 ayat 6 UU No.1/1974, ketentuan tentang pihak-pihak yang berwenang memberikan ijin tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa ketentuan tentang ijin kawin menurut KUH Pdt, yang merupakan hukum perkawinan dari golongan Timur Asing Cina dan WNI keturunan Cina serta golongan Eropa dan WNI keturunan Eropa masih berlaku. Ijin kawin dalam KUH Pdt ditentukan dalam pasal 35 s/d 40 yang pada intinya adalah sebagai berikut :
  1. Untuk anak-anak sah yang belum bermur 21 tahun harus mendapat ijin dari orang tua/walinya, walaupun terdapat perbedaan pandangan antara kedua orang tuanya.  Apabila kekuasaan orang tua/perwalian dipecat, dan orang tua/wali yang dipecat itu tidak mau memberikan perstujuannya, maka orang tua yang lain dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar perkawinan anaknya dapat disetujui dan dilangsungkan. Persetujuan itu tidak dapat diperlukan apabila orang tua sakit gila atau dalam keadaan tidak hadir.Apabila ayah da ibunya telah meninggal maka sebagai ganti persetujuan  orang tua itu adalah pesetujuan dari kakek nenek yang bersangkutan. Dalam hal kakek nenek tersebu juga sudah meningeal dunia, mka persetujuan harus didapatkan dari wali dan wali pengawasnya.
  2. Untuk anak-anak luar kawin yang di akui yang berumur 21 tahun, pada pokoknya berlaku ketentuan-ketentuan yang sama dengan anak sah. Namun dalam hal ada perbeadaan pandangan antara orang tua/walinya maka dapatlah hal ini dimintakan putusan Pengadilan Negeri. Apabila ayah dan ibunya sudah meninggal maka persetujuan harus didapatkan dari wali dan wali pengawasnya(bukan perstujuan dari kakek dan neneknya).
Sedangkan bagi anak luar kawin yang tidak diakui, maka haruslah ia mendapatkan perstujuan itu tidak didapatkan maka anak itu dapat mengajukan permohonan iji kepada Pengadilan Negeri.
Syarat materil yang relative/nisbi, merupakan syarat yang melarang perkawinan antara seorang dengan seorang yang tertentu, yaitu :
1. Larangan kawin antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, yakni hubungan kekeluargaan karena darah dan perkawinan, yang ditentukan dalam pasal 8 UU No.1/1974 :
  • Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
  • Berhbungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara Saudara, antar seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
  • Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
  • Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, sudara susuan dan bibi/paman susuan.
  • Berhubungan saudara denan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
  • Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,dilarang kawin.
2. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali seorang suami yang oleh pengadilan diijinkan untuk poligami karena telah memenuhi alas an-alasan dan syarat-syarat ditentukan (pasal 9 UU No.1/1974).
3. Larangan kawin bagi suami dan istri yang telah cerai  kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi  untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (pasal 10 UU No.1/1974)
Langkah kawin seperti pasal 10 tersebut sama dengan larangan kawin yang ditentukan dalam pasal 33 KUH Pdt ayat 2 yang menentukan bahwa perceraian setelah yang kedua kalinya antara orang-orang yang sama, adalah terlarang.
4. Seorang wanita yang putus perkawinannya dilarang kawin lagi sebelum habis jangka tunggu  (pasal 11 Uno.1/1974).

 

Syarat-Syarat Formil Perkawinan

 

a. Pemberiahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis ke di tempat pada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4 PP No.9/1975).
b. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakandi Kantor Pencatat Perkawinan. Maksud pengumuman itu adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang mempunyai  pertalian dengan calon suami/istri itu atau pihak-pihak lain yang mempunyai  yang mempunyai kepentingan (misalnya Kejaksaan) untuk menentukan perkawinan itu kalau ada ketentuan Undang-Undang yang dilanggar.Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai.
Perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum melewati hari ke 10 setelah diumumkan (pasal 10 PP No.9/1975). Menurut pasal 57 KUH Pdt yang masih berlaku karena tidak diatur dalam UU No.1/1974, pengumuman yang sudah melewati 1 tahun  sedang perkawinan belum juga dilaksanakan, maka perkawinan menjadi daluwarsa dan tidak boleh dilangsungkan kecuali melalui pemberitahuan dan pengumuman baru.

syarat formil dan syarat materil perkawinan
sumber gambar : blogperadilan.blogspot.com


Previous Post
Next Post