Kesulitan utama untuk memahami hak cipta pada dasarnya lebih banyak berpangkal pada kekusutan penggunaan kata “cipta” dan “ciptaan” yang selama ini menjadi ungkapan umum untuk menunjuk kegiatan manusia yang menghasilkan suatu karya. Bentuk kegiatannya disebut sebagai mencipta sedangkan hasilnya disebut sebagai ciptaan.
Untuk memahami mengenai hak cipta, maka dapat kita awali dengan mengenali objeknya. Objek hak cipta berupa segala sesuatu yang bentk ciptaan yang bermuatan ilmu pengetahuan, berbobot seni dan bernuansa sastra.
Istilah hak cipta pertama kali diusulkan oleh Prof. St. Moh. Syah, S.H. pada kongres kebudayaan di Bandung pada tahun 1951 sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak pengerang sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda yaitu “ Auteurs Recht”.
Menurut Auteurswet 1912 dalam pasa 1 menyebutkan bahwa “ hak cipta adalah hak tunggal dari pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusastraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Kemudian, Universal Copyright Convention dalam pasal V menyatakan bahwa “ hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.”
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta 2002, Hak Cipta adalah Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2 ayat (1) UU Hak Cipta 2002 menegaskan bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai hak ekskludsif, hak cita mengandung dua esensi hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Kandungan hak ekonomi meliputi hak untuk mengumumkan dan hak untuk memperbanyak hasil ciptaannya. Adapun hak moral adalah hak yang meliputi mencamtumkan nama pencipta dalam ciptaannya dan hak pencipta untuk melarang orang lain mengubah ciptaannya, termasuk judul ataupun anak judul ciptaan.
Hak ekonomi
Dalam khasanah ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, tidak semua ciptaan dibuat dengan orientasi dan motif ekonomi. Adakalanya, sebuah ciptaan dibuat sebagai ekspresi dedikasi pribadi bertema ritual, pemujaan atau bentuk-bentuk persembahan berdasar tradisi dan budaya leluhur. Ciptaan-ciptaan seperti ini bukan merupakan komoditi komersial yang bebas dieksploitasi.
Dari segi kepentingan pencipta atau pemegang hak cipta, suatu ciptaan dapat dieksploitasi atau digunakan untuk segala bentuk kemungkinan pemanfaatan nilai-nilai ekonominya. Bentuk-bentuk pemanfaatannya sangat beragam dan sangat tergantung pada jenis dan sifat ciptaan. Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa eksploitasi dapat berlangsung dalam bentuk memperbanyak dan mengumumkan ciptaan.
Secara normatif, yang dimaksud dengan memperbanyak antara lain adalah menambah jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
Adapun yang dimaksud dengan mengumumkan meliputi tetapi tidak terbatas pada kegiatan pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
Hak moral
Dalam konvensi Bern, masa berlakunya hak moral ditentukan sekurang-kurangnya sama dengan masa perlindungan hak ekonomi. Ini berarti, selama hidup pencipta dan berlaku hingga 50 tahun setelah kematiannya.
Dari segi substansi, hak moral sesungguhnya tidak memperoleh pengaturan secara memadai di awal penyusunan Konvensi Bern. Fakta sejarah ini menggambarkan bahwa sejak awal lebih mengedepankan pengaturan hak ekonomi, sedangkan hak moral baru diadopsi tahun 1928 ketika Konvensi tersebut direvisi di Roma,Italia. Kenyataan ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa Auteurswet 1912 yang diberlakukan di Indonesia juga tidak memiliki ketentuan-ketentuan yang mengatur hak moral secara memadai.
Sementara itu, David Vaver menguraikan sejarah pengaturan hak moral di Canada. Negara ini mengatur hak moral sesuai dengan ketentuan Article 6bis Konvensi Bern tahun 1931. Dalam perkembangannya, ketentuan itu diperjelas dan diperluas tahun 1988, hingga menjadi seperti yang tertera dalam UU Hak Cipta Canada saat ini.
Pada dasarnya, pengakuan terhadap hak moral ditumbuhkan dari konsep pemahaman bahwa karya cipta merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari pribadi pencita. Ini berarti, gangguan terhadap suatu ciptaan sama maknanya dengan ganngguan terhadp pribadi pencipta.
Secara ringkas, lingkup hak moral mencakup atribusi, integritas dan asosiasi. Ketiganya dapat dihapuskan tetapi tidak dapat dialihkan. Meniadakan identitas pencipta misalnya dalam ciptaan yang dihasilkan secara bersama-sama dapat saja dilakukan sekedar untuk kepentingan keluwesan dalam menampilkan siapa penciptanya. Sepanjang hal itu dilakukan sesuai kesepakatan para pencipta semuanya dan tidak ada niat buruk yang merugikan kepentingan salah satu atau beberapa pencipta lainnya, maka peniadaan nama pencipta dapat dilakukan. Sebaliknya, mengalihkan identitas pencipta kepada pihak lain yang bukan pencipta, tidak dapat dilakukan. Pencipta dapat saja menggunakan nama samaran, tetapi tidak bisa menggunakan nama orang lain dan atas nama dirinya sendiri sebagai pencipta.
Sumber:
H.OK. Saidin, 1995.Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Henry Soelistyo,2011. Hak Cipta Tanpa Hak Moral.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.