sumber gambar: islamnyamuslim.com |
Pada artikel tentang pengertian sumber hukum dan macam-macam sumber hukum telah dijelaskan bahwa kebiasaan, traktat dan doktrin sebagai sumber hukum. untuk mengetahui pengertian kebiasaan traktat dan doktrin sebagai sumber hukum, maka berikut ini adalah penjelasannya.
Kebiasaan Sebagai Sumber Hukum Formal
Kebiasaan merupakan sumber hukum yang ada di dalam kehidupan sosial masyarakat dan dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. kebiasaan ialah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang tetap, dilakukan berulang-ulang dalam rangkaian perbuatan yang sama dalam waktu yang lama. Kebiasaan yang diyakini oleh masyarakat jelas akan diterima sebagai hukum yang harus ditaati. Namun tidak semua kebiasaan itu mengandung hukum yang adil dan mengatur tata kehidupan masyarakat, sehingga tidak semua kebiasaan itu dapat dijadikan sumber hukum.
Untuk timbulnya hukum kebiasaan menjadi sumber hukum, diperlukan syarat-syarat sebagai berikut;
1. Syarat material, yaitu harus ada perbuatan-perbuatan tertentu atau tetap yang dilakukan terus menerus dan berulang-ulang dalam rangakian perbuatan yang sama dalam waktu yang lama dan diikuti oleh masyarakat sehingga perbuatan itu menjadi kebiasaan.
2. Syarat psikologis, yaitu adanya keyakinan dari masyarakat bahwa perbuatan atau kebiasaan itu masuk akal sebagai suatu kewajiban.
3. Syarat sanksi, yaitu adanya sanksi jika kebiasaan itu tidak ditaati atau dilanggar oleh masyarakat.
Ada perbedaan yang prinsipil antara hukum kebiasaan dengan hukum adat ( adat-istiadat ), yaitu;
1. Hukum kebiasaan seluruhnya tidak tertulis, sedangkan hukum adat sebagian besar secara tertulis atau dituliskan.
2. Hukum kebiasaan berasal dari kontrak sosial dunia timur dengan dunia barat yang meresap ke dalam hukum nasional, sedangkan hukum adat berasal dari kehendak nenek moyang, agama, dan tradisi masyarakat.
Di dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang kekuasaan Kehakiman ini sama artinya dengan living law seperti yang dikemukakan oleh seorang tokoh aliran sociological jurisprudence yang bernama Eugen Erlich, yakni sebagai hukum yang hidup di masyarakat yang terdiri atau berwujud hukum kebiasaan dan adat istiadat dari masyarakat itu sendiri.
Untuk timbulnya hukum kebiasaan menjadi sumber hukum, diperlukan syarat-syarat sebagai berikut;
1. Syarat material, yaitu harus ada perbuatan-perbuatan tertentu atau tetap yang dilakukan terus menerus dan berulang-ulang dalam rangakian perbuatan yang sama dalam waktu yang lama dan diikuti oleh masyarakat sehingga perbuatan itu menjadi kebiasaan.
2. Syarat psikologis, yaitu adanya keyakinan dari masyarakat bahwa perbuatan atau kebiasaan itu masuk akal sebagai suatu kewajiban.
3. Syarat sanksi, yaitu adanya sanksi jika kebiasaan itu tidak ditaati atau dilanggar oleh masyarakat.
Ada perbedaan yang prinsipil antara hukum kebiasaan dengan hukum adat ( adat-istiadat ), yaitu;
1. Hukum kebiasaan seluruhnya tidak tertulis, sedangkan hukum adat sebagian besar secara tertulis atau dituliskan.
2. Hukum kebiasaan berasal dari kontrak sosial dunia timur dengan dunia barat yang meresap ke dalam hukum nasional, sedangkan hukum adat berasal dari kehendak nenek moyang, agama, dan tradisi masyarakat.
Di dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang kekuasaan Kehakiman ini sama artinya dengan living law seperti yang dikemukakan oleh seorang tokoh aliran sociological jurisprudence yang bernama Eugen Erlich, yakni sebagai hukum yang hidup di masyarakat yang terdiri atau berwujud hukum kebiasaan dan adat istiadat dari masyarakat itu sendiri.
Pengertian Traktat ( Perjanjian Antarnegara ) Sebagai Sumber Hukum Formal
Traktat atau perjanjian antarnegara adalah suatu perjanjian internasional antara dua negara atau lebih. Tarktat dapat dijadikan sebagai sumber hukum formal, jika memenuhi syarat-syarat formal tertentu.
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara subjek hukum internasional yang mennimbulkan akibat hukum, atau perjanjian yang mengatur hubungan antara negara atau antara lembaga internasional yang bertujuan menimbulkan akibat hukum tertentu.
Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 menentukan, bahwa presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Menurut Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, bahwa perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR adalah perjanjian yang dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
Traktat yang memerlukan adanya persetujuan DPR adalah traktat yang mengandung materi sebagai berikut :
1. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, seperti perjanjian persahabatan, perjanjian persekutuan, atau perjanjian tentang perubahan wilayah.
2. Ikatan-ikatan yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri ( perjanjian kerjasama ekonomi dan teknis, atau pinjaman uang ).
3. Soal-soal yang menurut UUD harus diatur dengan undang-undang ( persoalan kewarganegaraan, hukum/ekstradisi )
Bentuk-bentuk traktat dalam hukum internasional dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1. Treaty, yaitu perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk disetujui sebelum diratifikasi kepala negara.
2. Agreement, yaitu perjanjian yang diratifikasi lebih dahulu oleh kepala negara barulah disampaikan kepada DPR untuk diketahui.
Menurut bentuknya, ada beberapa macam perjanjian, yaitu :
1. Traktat bilateral adalah perjanjian internasional yang diadakan oleh dua negara
2. Traktat multilateral adalah perjanjian internasional yang diadakan oleh dua negara atau lebih
3. Traktat kolektif, yaitu perjanjian internasional yang masih memungkinkan masuknya negara-negara lain menjadi peserta, dengan syarat negara itu menyetujui isi perjanjian yang sudah ada atau disebut perjanjian terbuka.
Proses pembentukan suatu traktat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut :
- Penetapan, menentukan isi perjanjian oleh masing-masing delegasi negara.
- Persetujuan DPR ( parlemen ), isi perjanjian harus disetujui oleh DPR agar kepala negara dapat meratfikasinya.
- Ratifikasi kepala negara, pengesahan berlakunya suatu traktat.
Perjanjian internasional baru mengikat atau berlaku dalam suatu negara setelah diratifikasi oleh kepala negara. Traktat yang telah diratifikasi selanjutnya diundangkan dalam Lembaran Negara. Pengundangan traktat dalam Lembaran Negara bukan merupakan syarat berlakunya traktat, melainkan bersifat formal saja supya diketahui oleh rakyat.
Jika suatu undang-undang belum dituangkan dalam Lembaran Negara, maka undang-undang itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sedangkan traktat memiliki kekuatan yang mengikat setelah diratifikasi oleh kepala negara meskipun belum dituangkan dalam Lembaran Negara.
Pengertian Doktrin Sebagai Sumber Hukum Formal
Doktrin adalah pendapat atau ajaran para ahli hukum terkemuka dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Misalnya, hakim dalam memeriksa perkara atau dalam pertimbangan putusannya menyebut-nyebut pendapat ahli tertentu. Dengan demikian, hakim dianggap telah menemukan hukumnya dalam doktrin, sehingga doktrin yang demikian menjadi sumber hukum formal. Pasal 38 ayat (1) Mahkaman Internasional menetapkan, bahwa doktrin adalah menjadi salah satu sumber hukum formal.
Doktrin tidak mengikat seperti UU, kebiasaan, traktat atau Jurisprdensi, sehingga bukanlah hukum. doktrin hanya memiliki wibawa yang dipandang objektif sehinga sering digunakan sebagai sumber pembentukan hukum, serta dapat dijadikan dasar pengambilan putusan bagi hakim.
Doktrin dapat menjadi sumber hukum formal setelah menjelma atau menjadi dasar putusan hakim. Doktrin atau ajaran atau pendapat para ahli hukum tidak hanya mempengaruhi hakim saja, tetapi juga mempengaruhi para aparat pelaksana atau penegak hukum yang lain. Pendapat para sarjana hukum terkemuka dan berpengaruh atau doktrin bukan merupakan sumber yang mengikat langsung terhadap suatu keputusan, melainkan membantu hakim dalam mengambil keputusan sebagai sumber tambahan.
Demikianlah penjelasan mengenai kebiasaan sebagai sumber hukum formal, traktat sebagai sumber hukum formal dan doktrin sebagai sumber hukum formal.